JURNAL NGAWI - Polemik tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat, terus menuai perhatian publik setelah menjadi sorotan di berbagai platform media sosial.
Sejumlah pihak, mulai dari aktivis lingkungan hingga tokoh agama, menyatakan sikap kritis terhadap eksploitasi alam di kawasan yang dikenal sebagai surga keanekaragaman hayati dunia itu. Tak terkecuali dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU).
NU sejatinya memiliki posisi yang jelas dan tegas dalam hal perlindungan lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan dua karya penting yang pernah diterbitkan oleh badan otonom NU, yaitu buku “Fikih Energi Terbarukan” oleh Lakpesdam PBNU dan “Menuju Pesantren Hijau” oleh LPB-NU. Keduanya menegaskan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan sebagai bagian dari tanggung jawab keagamaan.
- Baca Juga:
- Jejak Sejarah Qurban: Dari Nabi Adam hingga Rasulullah SAW
- Musrenbang RPJMD 2025–2029 Pemkab Mojokerto, STIE Al-Anwar Dukung Penuh Arah Pembangunan Berbasis SDM
Tidak hanya itu, keputusan Bahtsul Masail PBNU pada 10 Mei 2015 juga menegaskan bahwa eksploitasi alam secara merusak adalah haram hukumnya. Dengan demikian, segala bentuk kegiatan pertambangan yang merusak lingkungan, termasuk di Raja Ampat, tidak dapat dibenarkan secara fikih.
Menanggapi isu tersebut, Dr. Muhammad Da’i Robbi, M.Ud., seorang akademisi sekaligus pendakwah di Majelis Padang Ati Tulungagung serta aktivis di PCNU Cabang Tulungagung, angkat bicara. Ia menilai bahwa NU harus menjadi ormas paling depan dalam menolak eksploitasi tambang di Raja Ampat.
“NU tidak boleh diam! Kalau perlu, PBNU harus meminta salah satu pengurusnya yang menjabat komisaris di salah satu PT tambang di Raja Ampat untuk mundur,” tegas Dr. Da’i Robbi. Ia menambahkan bahwa jika eksploitasi alam hukumnya haram, maka gaji yang diperoleh dari aktivitas tersebut juga tergolong haram.
Ia mengkritisi kondisi saat ini yang dianggap menunjukkan NU mulai kehilangan daya kritis terhadap penguasa. “Sebagaimana Gus Dur mengajarkan, NU tidak boleh terkooptasi kekuasaan. Jangan sampai tajam ke bawah namun tumpul ke atas,” ujarnya.
Lebih lanjut, Dr. Da’i Robbi berharap agar PBNU segera mengeluarkan surat seruan moral bertajuk "Save Raja Ampat", sebagaimana PBNU sebelumnya dengan cepat merespons isu lain seperti polemik nasab. Menurutnya, ini adalah bentuk tanggung jawab moral organisasi terhadap keberlanjutan lingkungan dan konsistensi sikap keagamaan.
Sebagai aktivis NU, ia mengingatkan bahwa gerakan penyelamatan lingkungan juga merupakan bagian dari ibadah. “Tidak ada alasan untuk membiarkan alam Raja Ampat rusak hanya demi kepentingan ekonomi sesaat. Ini amanat agama, amanat organisasi,” tambahnya.