Sejarah Proses Penciptaan Lambang Negara Indonesia Berbentuk Burung Garuda Dilakukan Pada 1949

- 29 November 2021, 18:14 WIB
Gambar Lambang Negara
Gambar Lambang Negara /Cagar budaya Kemdikbud

JURNAL NGAWI - (29/11/2021) Sejarah pembuatan atau rancangan lambang Negara Indonesia berwujud Burung Garuda.

Sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada bulan Juni 1945 diselenggarakan rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Salah satu hasil rapat tersebut, Pancasila disepakati sebagai dasar negara pada 1 Juni 1945. Sehari setelah proklamasi tepatnya pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan rapat. UUD 1945 dirumuskan sekaligus diresmikan dalam rapat tersebut. Dalam dua rapat tersebut, belum dibahas mengenai lambang negara.

Proses penciptaan lambang negara sendiri baru dapat dilakukan pada tahun 1949. Penciptaan lambang negara baru terpikirkan setelah adanya Bagian III Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, pasal 3 ayat 3 yang mengatur tentang Lambang Negara (Agus Sachari : 2007). Setelah itu sekelompok panitia yang dipimpin oleh Muhammad Yamin dengan anggotanya antara lain adalah Ki Hajar Dewantara, M.A Pellaupessy, Moh. Natsir dan R.M Ng Purbatjaraka dibentuk untuk menampung saran yang masuk terkait lambang negara sebelum diserahkan kepada presiden. Presiden Soekarno juga memberikan perintah jika lambang negara gambarnya harus disesuaikan dengan dasar negara Pancasila.

Diadakan semacam sayembara untuk mencari usulan tentang lambang negara ini. Hasil akhir, ditentukan dua usulan yang berasal dari M. Yamin dan Sultan Hamid II. Usulan yang digambarkan oleh M. Yamin berupa kepala kerbau yang disertai dengan sinar matahari.

Sedangkan Sultan Hamid II menggambarkan Garuda yang sedang mencengkeram sebuah perisai. Usulan dari Sultan Hamid II yang kemudian dipilih untuk menjadi lambang negara. Rancangan awal dari Sultan Hamid II pada awalnya adalah kepala dari burung yang digambar berbentuk manusia. Setelah mendapatkan masukan dari berbagai pihak, Sultan Hamid II merubah bentuk kepala burung tersebut.

Kemudian lambang negara ini dikenalkan kepada khalayak umum dan dipasang di ruang sidang parlemen RIS. Namun, lambang tersebut masih mendapatkan kritik dari berbagai pihak agar dapat diperbaiki. Sultan Hamid II sendiri masih memperbaiki rancangannya tersebut. Namun kemudian karena diduga terlibat gerakan APRA/Westerling, Sultan Hamid tidak dilibatkan kembali dalam perbaikan lambang negara. Perbaikan dilakukan sendiri oleh presiden Soekarno.

Selain sebagai Menteri Negara Republik Indonesia Serikat, saat perancangan LNI Sultan Hamid II adalah seorang sultan dari Kerajaan Sintang. Hubungan baik pada masa lampau antara Kerajaan Sintang dan Kerajaan Majapahit menjadi latar belakang Sultan Hamid II untuk memperhitungkan gambar garuda Kerajaan Sintang di Kalimantan Barat dengan gambar garuda yang banyak ditemukan di banyak bangunan candi di Pulau Jawa, yang menggambarkan legenda dari Darajuanti dengan Patih Lohgender. Pada bulan Februari 1950 Sultan Hamid II juga mengundang kepala suku-suku Dayak ke Hotel Des Indes di Jakarta untuk mendapatkan saran mereka pada sketsa LNI.

M. Yamin dan Sultan Hamid II mencoba untuk menginterpretasi keinginan para pemimpin pada saat itu. M. Yamin berniat untuk menggunakan simbol dari alam seperti banteng, air, matahari, dan pohon kelapa yang digabungkan ke dalam perisai.

Namun, Sultan Hamid II memiliki ide berbeda mengenai simbol yang benar yang dapat merefleksikan prinsip Pancasila. Ia merancang sketsa awal perisai yang dibagi menjadi lima bagian. Untuk membuat simbol berbeda dengan yang diajukan M. Yamin, ia membuat dua perisai di dalam dan di luar garis dengan menggunakan garis lebih tebal yang merefleksikan garis katulistiwa dan membagi perisai menjadi dua bagian.

Desain perisai yang diajukan oleh Ki Hadjar Dewantara diambil dari mitos Garuda. Rancangan ini kemudian ditolak oleh Komite Simbol Nasional Republik Indonesia Serikat pada 8 Februari 1950. M. Natsir menolak tangan garuda yang memegang bagian dasar perisai dimana hal itu terlalu mitologis dan feodal. Anggota lain dari komite, R. M. Ng. Poerbatjaraka juga menolak tujuh bulu pada ekor Garuda seperti yang diajukan oleh M. Yamin.

Halaman:

Editor: Anwar Thohir

Sumber: kemdikbud


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah