Krisis Air dan Pembalut Terpaksa Wanita Di Gaza Minum Pil Penunda Menstruasi

8 November 2023, 10:32 WIB
Warga Palestina mengungsi ke selatan Gaza di tengah klaim kemajuan perang dari Israel dan Hamas. /Mohammed Al-Masri/

JURNAL NGAWI - Krisis air dan pasokan pembalut di Jalur Gaza telah mendorong banyak wanita di wilayah tersebut untuk mengambil langkah ekstrem dengan minum pil penunda menstruasi.

Konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina telah memberikan tekanan tambahan pada kondisi yang sudah sulit di Jalur Gaza, dengan wanita yang terpaksa mengonsumsi tablet norethisterone untuk mengatasi masalah menstruasi mereka.

Dilansir dari Al Jazeera pada Sabtu (4/11/2023), situasi ini telah menciptakan situasi yang sulit bagi wanita di Gaza.

Lingkungan yang terlalu padat dan keterbatasan akses terhadap air bersih dan produk kebersihan menstruasi seperti pembalut wanita dan tampon telah memaksa wanita-wanita di sana untuk mencari alternatif yang tidak biasa.

Baca Juga: Dukungan Untuk Palestina ANANDA Omesh Lelang Motor Royal Enfield Classic 500 Limited Edition

Baca Juga: Sejarah Konflik Palestina Mulai Berdirinya Israel, Keputusan PBB, Hingga Perang yang Mengorbankan Ribuan Nyawa

Pil penunda menstruasi seperti norethisterone biasanya diresepkan untuk mengatasi kondisi seperti perdarahan menstruasi yang parah, endometriosis, dan nyeri haid yang berat.

Namun, dalam situasi darurat ini, pil tersebut digunakan untuk menghindari rasa tidak nyaman dan nyeri saat menstruasi, yang dapat menjadi tambahan tekanan psikologis selama konflik berlarut-larut.

Menurut Konsultan medis kebidanan dan ginekologi di Nasser Medical Complex di selatan kota Khan Younis, Dr. Walid Abu Hatab, pil ini bekerja dengan menjaga kadar hormon progesteron tetap tinggi, sehingga rahim tidak melepaskan lapisannya dan menstruasi tertunda.

Meskipun pil ini dapat membantu mengatasi masalah menstruasi, mereka juga memiliki efek samping yang tidak diinginkan, seperti pendarahan vagina yang tidak teratur, mual, perubahan siklus menstruasi, pusing, dan perubahan suasana hati.

Namun, bagi beberapa wanita seperti Salma Khaled, tampaknya mereka tidak memiliki pilihan lain di tengah gencarnya pemboman Israel dan blokade Jalur Gaza.

Salma, seorang wanita berusia 41 tahun yang telah meninggalkan rumahnya di Kota Gaza dua minggu yang lalu untuk tinggal dengan kerabatnya di kamp pengungsi Deir el-Balah di Gaza tengah, mengungkapkan penderitaannya. Dia merasa terus-menerus dalam ketakutan, ketidaknyamanan, dan depresi, yang berdampak buruk pada siklus menstruasinya.

"Saya mengalami hari-hari tersulit dalam hidup saya selama perang ini. Saya mendapat menstruasi dua kali dalam bulan ini, yang sangat tidak teratur bagi saya, dan mengalami pendarahan hebat," kata Salma.

Masalah juga muncul dalam pasokan pembalut, dengan toko dan apotek yang masih buka seringkali tidak memiliki persediaan yang mencukupi. Selain itu, berbagi rumah dengan puluhan kerabat di tengah kekurangan air telah membuat kebersihan rutin menjadi sebuah kemewahan.

Penggunaan kamar mandi harus dijatah, dan mandi dibatasi hanya beberapa hari sekali. Semua ini menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh wanita-wanita di Jalur Gaza selama masa konflik yang sulit ini.***

Editor: Zayyin Multazam Sukri

Tags

Terkini

Terpopuler